Melarang Anak Tidak Lebih Baik daripada Memberikan Penjelasan
Ayah dan Bunda pernah kah melarang anak untuk melakukan sesuatu? Tentu setiap orangtua pernah melakukannya. Karena untuk menajdi anak yang manis, anak-anak perlu terus diingatkan kepada aturan-aturan dan norma yang membuatnya dapat bersikap lebih baik terutama ketika berada di tempat yang mengharuskannya bersikap manis.
Banyak orangtua yang memberlakukan larangan kepada anaknya. Misalkan saja melarang anak makan makanan terlalu banyak ketika disuguhi makanan di rumah orang lain saat bertamu. Melarang anak untuk tidak mengacaukan pajangan makana yang tertata di supermarket, melarang lari-larian di tempat ibadah, atau larangan lainnya yang dianggap dapat meminimalisir kekacauan.
Namun nyatanya, anak-anak belum memiliki kematangan dalam berpikir logis. Anak-anak bemum mampu berpikir abstrak bahkan untuk memahami sesuatu yang bersifat maya, tidak nyata. karena anak-anak belajar dari apa yang mereka lkihat, raba, dan mainkan langsung. Anak-anak baru akan mengembangkan kemampuan berpikir tentang konsep abstrak dan berpikir logis itu di usia 12 tahun ke atas.
Dilansir dari Kumparanmom, saat anak sudah berusia 12 tahun sampai kelak ia dewasa, anak mulai mengembangkan kemampuan berpikir tentang konsep abstrak, kemampuan berpikir logis, mencari alasan rasional, dan membuat rencana yang sistematis. Jadi, anak di bawah usia 12 tahun tidak akan langsung paham ketika dilarang melakukan sesuatu. Pasti anak akan bertanya, “kenapa gak boleh?”
Anak-anak masih memiliki sikap kritis dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Karena itu, jika anak-anak melakukan kesalahan maka jelaskan pelan-pelan tentang alasan mengapa hal itu tidak boleh dilakukan. Intinya, anak-anak selalu butuh alasan.
Sebaliknya, melarang anak secara tegas tanpa penjelasan mengapa, hanya memunculkan rasa penasaran yang tiada henti. Kemungkinan anak untuk mengulang kesalahan jauh lebih besar dibandingkan dengan memberikannya penjelasan secara detail tentang alasan mengapa mereka tidak boleh melakukannya. Bahkan jika perlu, kita dapat menjelaskan dengan dibantu orang/alat lain. Misalkan saja melakukan simulasi atau menonton tayangan tentang kejadian yang serupa dengan apa yang mereka alami.
Selain itu, yang ternyata menempel di otak anak bukanlah nasihat yang kita berikan. Namun lebih kepada bagaimana sikap kita dalam memberi perlakuan kepadanya.
Mari kita mengingat-ingat. Hal apa yang lebih kita kenang dan melekat di hati kita dari para guru, ayah dan ibu, om dan tante kita, kakek dan nenek atau siapapun ketika masa kecil dulu. Manakah yang jauh lebih memberikan kesan mendalam? Kebaikannya atau apa yang diajarkannya?
Ketika dulu kita belajar matematika, apa yang jauh lebih menempel di kepala kita hari ini? Rumus matematika atau cara sang guru menyampaikan pelajaran?
Seumur hidup, pelajaran mungkin hanya beberapa bahasan saja yang melekat di kepala orang dewasa sampai saat ini. Namun kebaikan sikap dan perlakuan orang yang memebrikan pengajaran insyaallah akan selalu terkenang di hati sampai kapanpun.
Jadi, mengajarkan anak untuk memerhatikan guru saat kegiatan belajar mengajar di sekolah dan menjelaskan mengapa ia harus memerhatikan, jauh lebih baik daripada melarang mereka memainkan mainan saat kegiatan berlangsung.
Kebutuhan anak akan rangsangan kreativitas masih sangat tinggi. Dunia anak memang dunia bermain. Jangan pernah melarang anak untuk memainkan mainan yang disukainya. Siapa tahu justru dengan mainan itu anak-anak jadi lebih terlatih kematangan berpikirnya, fisik motoriknya, kemampuannya dalam mengambil keputusan, dan perkembangan lain yang memang harus dimatangkan pada usianya.
Jadi Bunda, mulai sekarang kita belajar untuk memberikan penjelasan terlebih dahulu ya, memarahi mereka secara tiba-tiba. Jangan buang energi untuk berteriak memarahi. Mending memberikan penjelasan tetntang sebab akibat pada waktu yang tepat; saat anak sedang merasa tenang dan bahagia.
Semoga bermanfaat.
Ditulis oleh Diantika IE (Kepala Sekolah Mutiara Embun Pagi)