Kebutuhan Hati kepada Ilmu
“Sebagian orang tidak mau kontinyu dalam beramal. Demi Allah, bukanlah seorang mukmin itu yang beramal sebulan atau dua bulan, setahun atau dua tahun. Tidak, demi Allah! Allah tidak menetapkan batas akhir bagi amal seorang mukmin selain kematian.”
(Hasan al-Bashri)
Sebuah bangunan hanya akan tegak di atas pondasi yang kuat dan kokoh. Begitu pula agama Islam tidak akan tegak kecuali di atas pondasi ketakwaan dan keimanan yang benar. Seorang mukmin membangun amalnya di atas iman dan keikhlasan sementara orang munafik membangun amalnya di atas kekufuran dan riya.
Allah berfirman tentang kaum munafik (yang artinya), “Dan sebagian orang ada yang mengatakan ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’ padahal mereka bukanlah kaum beriman. Mereka berusaha mengelabui Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka tidaklah mengelabui kecuali dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari. Dalam hati mereka terdapat penyakit maka Allah pun tambahkan padanya penyakit yang lain…” (QS. Al-Baqarah : 8-10)
Kerusakan yang menimpa hati kaum munafik inilah yang meruntuhkan segala amal kebaikan yang mereka tampakkan. Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud penyakit dalam ayat itu adalah keragu-raguan, syubhat dan kemunafikan. (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Setiap manusia butuh kepada bantuan dan pertolongan Allah di setiap saat dan di mana pun tempat. Dia tidak bisa terlepas dari-Nya walaupun sekejap mata. Lantas bagaimana mungkin dirinya akan bahagia ketika Allah telah berpaling darinya. Dan hal itu tidaklah terjadi kecuali akibat penyimpangan hatinya sendiri. Maka musibah mana kah yang lebih besar daripada hati yang keras dan jauh dari Allah?
Hati yang mati adalah hati yang tidak lagi mengenal Allah. Hati yang mati tidak beribadah kepada Allah dengan mengikuti perintah-Nya. Hati yang mati tidak lagi menghamba kepada Allah dengan hal-hal yang diridhai dan dicintai-Nya. Akan tetapi dia justru berhenti tunduk bersama keinginan syahwat dan kesenangannya walaupun hal itu mengakibatkan murka dan kemarahan Allah. Dia tidak lagi peduli apakah Allah ridha atau tidak; yang penting baginya segala keinginan dan ambisinya terpenuhi. Oleh sebab itu sebenarnya dia telah menghamba kepada selain Allah. Cintanya, takutnya, harapnya, ridha dan murkanya, pengagungan dan penghinaan dirinya dia persembahkan kepada selain Allah. Apabila dia mencintai maka hal itu murni karena dorongan hawa nafsunya. Apabila membenci maka hal itu pun semata-mata karena memperturutkan hawa nafsu belaka. Begitu pula ketika memberi atau tidak memberi; semuanya karena motivasi hawa nafsu. Maka hawa nafsu lebih dia utamakan di atas keridhaan Allah. (Ibnul Qayyim dalam Ighotsatul Lahafan)
Sesungguhnya kebutuhan hati kepada ilmu sangat mendesak lebih dari kebutuhan tubuh kepada asupan makanan. Tubuh memerlukan asupan makanan dalam sehari sekali atau dua kali sudah cukup. Adapun kebutuhan manusia kepada ilmu sebanyak hembusan nafas. Karena setiap hembusan nafasnya membutuhkan keteguhan iman dan bimbingan hikmah. Apabila ia terlepas dari iman dan hikmah sungguh telah dekat kehancuran dirinya.
Ilmu tentang Allah merupakan pokok dari seluruh ilmu dan tempat tumbuhnya ilmu-ilmu itu. Barangsiapa mengenal Allah niscaya dia akan mengenali hal-hal selain-Nya. Dan barangsiapa yang bodoh tentang Allah niscaya dia lebih bodoh terhadap selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang melupakan Allah maka Allah pun membuat mereka lupa terhadap dirinya sendiri.” (QS. Al-Hasyr : 19). Dengan mengenal Allah maka seorang hamba akan dapat membangun kebahagiaan dirinya di dunia dan di akhirat. (Ibnul Qayyim dalam Sittu Durar min Ushul Ahlil Atsar karya Syaikh Abdul Malik)
“Perumpamaan hati yang mengingat Rabbnya dengan hati yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)
Oleh sebab itulah para ulama menggambarkan kebutuhan hati kepada dzikir seperti kebutuhan seekor ikan kepada air. Sebagaimana ikan menjadi mati ketika tidak ada air, begitu pula hati akan mati ketika lenyap darinya dzikir.
Ditulis oleh Thera Safitri Devi, S. Hum (Guru Bilingual SD Mutiara Embun Pagi)