Mendongeng sebagai Medium Elegansi Berbahasa Indonesia Sejak Dini
“Utamakan bahasa Indonesia, lestarian bahasa daerah, kuasai bahasa asing.”
Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas bangsa dan bahasa persatuan yang kita junjung tinggi, tidak hanya menjadi alat komunikasi sehari-hari, tetapi juga menjadi medium yang memiliki ke-elegansian dan kekayaan ekspresi. Bahasa Indonesia formal memiliki kecenderungan untuk mengikuti aturan tata bahasa. Keteraturan ini tidak hanya menghasilkan komunikasi yang jelas dan terstruktur, tetapi juga menciptakan aliran kata-kata dalam intonasi yang tepat, membawa pembaca pada ragam bahasa yang menyenangkan untuk didengar.
Bahasa memiliki arti penting bagi anak usia dini, karena secara mendasar melalui bahasa anak mengenal dunia sekitar, kemudian terciptalah proses komunikasi serta interaksi sehingga menumbuh kembangkan anak dalam aspek agama-moral, fisik-motorik, kognitif, sosial-emosional, dan keterampilan dapat tercapai dengan baik. Belajar bahasa pada anak usia dini itu komprehensif –artinya, dalam waktu yang bersamaan anak bisa belajar keterampilan bahasa, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Di dalam satu kegiatan berbahasa, anak belajar menyimak dan berbicara yang bisa dikombinasikan sekaligus dalam belajar menulis dan membaca.
Literasi ditanamkan lebih awal kepada anak-anak dimulai dari rumah. Ruang keluarga merupakan ruang sosial terpenting bagi anak-anak dalam belajar literasi. Keluarga jadi tempat pertama kali belajar literasi melalui interaksi dengan melakukan proses imitasi dan inovasi berbahasa dengan menjadikan perilaku literasi orang tua sebagai role model-nya. Semakin intens dan kompleks kegiatan literasi yang dikondisikan dan dikembangkan dalam lingkungan pendidikan keluarga maka akan makin baik pula kemampuan dan keterampilan literasi yang dikuasasi anak. Sehingga anak akan bertumbuh dan berkembang menjadi individu yang literat.
Perilaku sederhana literasi anak-anak di ruang keluarga contohnya adalah dengan mendongeng (bercerita). Dari sinilah, kemampuan dasar literasi anak tidak akan lepas dari pengaruh lingkungan belajar dalam keluarga. Bercerita pada dasarnya memudahkan struktur berbahasa. Kemampuan bahasa anak dimulai dari keterampilan menyimak. Sejak dilahirkan dalam proses pertumbuhan sampai empat bulan, anak tumbuh dalam pesatnya pada indera pendengaran yang sempurna. Melalui indera pendengar ini, anak menyerap berbagai bunyi dan suara yang tercipta di sekelilingnya. Bunyi akan ditransfer dan disimpan dalam sistem pusatnya. Menurut Montessori, indera pendengar yang sedemikian rupa menakjubkan bisa mendengarkan bunyi yang diciptakan oleh Tuhan dengan sangat indah. Setidaknya, indera pendengar ini membuat anak-anak berbeda dengan binatang yang juga memiliki indra pendengar. Perbedaannya terletak pada kemampuan indera pendengar anak lebih terpikat pada bunyi yang berupa bunyi dari alat ucap manusia daripada bunyi lainnya (Montessori, 2011).
Prosesnya, saat anak sudah bisa mengucapkan kata dengan baik, pengenalan struktur kata yang terbangun atas huruf-huruf akan bisa dilakukan dengan baik. Melalui pengenalan huruf yang membangun struktur kata, anak akan memahami bahasa tulis. Pengenalan bahasa tulis dengan baik dilakukan melalui sistem kategorisasi gambar, yaitu menampilkan kata dengan gambar agar kesan konkret tercipta sehingga proses mengingat kata dan gambarnya bisa dilakukan dengan baik. Dengan ingatan tentang gambar dan kata yang baik, anak diorientasikan untuk memahami struktur kata dengan cara yang menyenangkan dan dapat dieksplorasi dengan cepat.
Lantas seberapa efektifkah dongeng sebagai medium elegansi bahasa? Mendongeng merupakan aktivitas literasi sebagai seni bercerita yang paling unik sehingga Hari Dongeng bahkan diperingati secara internasional (pada 20 Maret) dan nasional (pada 28 November). Dilansir dari laman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, mendongeng bukan hanya kegiatan menidurkan anak, melainkan juga upaya meningkatkan perkembangan pada otak kanan anak yang antara lain, berfungsi dalam hal psikologi, emosi, serta imajinasi. Dalam jurnalnya yang bertajuk “Why Story Telling Matters: Unveiling the Litteracy Benefits of Storytelling”, Profesor Denise E. Agosto sampai pada sebuah simpulan bahwa mendongeng merupakan metode ideal untuk memperkenalkan pendidikan kepada anak-anak. Tanpa penyanggahan bercerita adalah perangkat terbaik untuk merangkul dan menyentuh emosi manusia.
Hal itu masuk akal sebab dengan menyentuh emosi, kita sudah menyentuh rasional hati. Di samping itu, dengan bercerita kita dimungkinkan untuk meletupkan imajinasi anak. Melalui aktivitas bercerita, kita bisa membuat anak memosisikan dirinya sebagai pahlawan dalam memberantas kejahatan (protagonis), kita bisa mengajarkan anak untuk menyelesaikan masalah (problem solving) dengan hati dan norma. Sebuah inti bahwa cerita bukan sekadar ungkapan fiktif. Cerita justru membuat kita semakin kreatif dan penuh imajinasi.
Sedikit banyak pada situasi modernitas ini, tanpa disadari budaya mendongeng semakin terpinggirkan, kreativitas dan kematangan emosional anak pun jadi memudar. Mendengar dan membaca dongeng sejatinya bukan semata karangan-karangan khayalan biasa. Dongeng adalah jiwa yang menumbuh, pelecut dan penentu. Dengan ucapan lain, mendengar dan membaca dongeng justru merupakan tindakan produktif. Joko Pinorbo bahkan mengatakannya dengan sangat puitis, “(Jika) masa kecil kau rayakan dengan membaca, kepalamu berambutkan kata-kata.” artinya adalah mendengar dan membaca dongeng juga merupakan investasi menjanjikan untuk masa depan anak-anak kita sebagai penentu nasib berbahasa elok guna menyampaikan warta, pikiran, atau perasaan dengan landasan pengetahuan yang tepat.
(Ditulis oleh Thera Safitri Devi, S. Hum – Wali Kelas Tasamuh B)